Pada tahun 1788 s/d 1820 yang menjadi Raja Surakarta Sri Susuhunan Pakubuwono IV nama kecilnya Raden Mas Subadyo. Di usia 20 tahun di nobatkan menjadi raja Surakarta. Beliau satu-satunya raja Surakarta yang mempunyai Perahu Besar yang di beri nama ROJO MOLO. Hasil penelusuran sejarah, ukuran perahu tersebut Panjang 56,9m lebar 6,9 m. ( sekarang dayung dan canthik perahu berada di musium Surakarta )
Pada suatu saat sang Raja Solo Sri Susuhunan Pakubuwono IV mengadakan penelusuran Sungai Bengawan Solo dengan tujuan Njajah Deso Milangkori dan mengontrol batas wilayah kekuasaan keraton solo. Hal tersebut di karenakan Belanda geencar-gencarnya melakukan penyekatan wilayah kekuasaan antara Kasunanan Solo, dan Kasultanan Jogya. Dalam penelusuran tersebut dengan menaiki Perahu ROJOMOLO yang di ikuti oleh Pujangga Keraton, para punggawa, para emban dan putra mahkota serta Sang Raja dalam penyamaran artinya tidak memakai busana raja nelainkan busana rakyat jelata. Putra Mahkota yang ikut antara lain :
Singkat cerita dalam penelusuran sampailah perahu tersebut sampai di sebuah muara sungai dan bertemu dengan seorang petani yang sopan, pintar serta alim. Beliau adalah WILOTIKTO. ( sebenarnya seorang bupati Blora yang mengundurkan diri dari jabatannya karena tidak mau tunduk dengan Mangkubumi ).
Tempat pertemuan antara Wilotikto dan Pakubuwono IV di muara sebuah kali / bengawan menjadi akrab dan saling menghormati dan menghargai. Dan bahkan Wilotikto di beri sebuah pusaka serta di undang ke solo. Wilotikto juga menunjukkan bahwa kali ini menjadi batas kekuasaan antara keraton jogya dan keraton Solo. Pada saat itu Sang raja masih menyembunyikan jati diri seorang raja, begitu juga Wilotikto juga masih menyembunyikan jati dirinya. Muara sungai tempat pertemuan itulah di namakan SAWUR, aninim dari SAMA SAMA MISUWUR istilah dalam bahasa jawa SAMI-SAMI MISUWUR. Akhirnya kali itu di namakan kali SAWUR.
Setelah singgah beberapa hari berada di muara kali / sungai bersama Wilotikto akhirnya Raja Solo Pakubuwono IV meneruskan perjalanan / milir, namun tak lama kemudian dalam perjalanan yang belum jauh dari muara tersebut, jalannya Perahu Rojo molo tidak seperti biasanya. Tidak stabil dan montang manting. di tempat kejadian perahu montang manting inilah di beri nama MANTINGAN. Di tempat itu akhirnya Perahu Rojomolo berhenti di tambatkan di pohon jati. Setelah memberi nama Mantingan, perahu itu menjadi tenang seperti biasanya ternyata tambatan Perahu rojomolo yaitu pohon jati pindah sendiri. Jati yang pinfah sendiri itu di namakan JATI NGALIH ( sekarang bekas masih ada dan masyarakt sekitar mengetahui ). Dan tak lama kemudian rombongan rojomolo meneruskan perjalanan milir sampailah suatu tempat yang bernama NGGOMPANG dan SOBO.
1. DUSUN SOBO DAN NGGOMPANG ( masuk wilayah Desa Sriwedari )
NGGOMPANG adalah nama tempat yang berlokasi di Pinggiran Bengawan Solo, tepatnya di wilayah Desa Sriwedari paling barat. Mengapa tempat ini di namakan NGGOMPANG. Di saat Rombongan Raja Itu sampai di suatu tempat berhenti karena melihat sungai bengawan Solo bercabang dua( yang satu mengalir ke selatan dan satunya mengalir ke utara. Sang raja memberi perintah kepada nakhoda Perahu untuk memberhentikann perahu .
Oleh karena Perahu ROJO MOLO tidak bisa menepi karena ukuran perahu terlalu besar membuat nakhoda perahu kebingungan. Saat kejadian itulah Raja menunjuk Ranting Pohon yang menjulai ( mangklung : jawa ) di atas sungai sambil berkata di ikat NGGON PANG. Maksudnya raja memerintah nakhoda agar Perahu di tambatkan ke Ranting pohon. Dan RANTING POHON bahasa jawanya PANG, sedangkan NGGON dari kata panggon artinya tempat. Dan sampai sekarang tempat tersebut namanya NGGONPANG lama kelamaan orang menyebutnya NGGOMPANG.
Versi lain : ketika Raja melihat lahan yang sangat luas maka raja bersabda bahwa kelak tempat ini menjadi tempat pangan atau NGGONPANGAN di singkat NGGOMPANG.
Pada saat Perahu di tambatkan di ranting banyak masyarakat sekitarnya yang berdatangan untuk melihat perahu Rombongan Raja Solo itu dari tepi sungai. Sang Raja bertanya kepada masyarakat yang datang. Rumahmu mana ? ( Omahmu Ngendi ? ) orang itu tidak menjawab hanya menunjuk arah ke utara. Lanjut sang Raja .... ooo Wong SOBO. Sobo artinya orang yang pergi dari rumah tanpa tujuan yang penting.
Tempat tersebut sampai sekarang di namakan dusun SOBO. Sedangkan Pohon yang menjadi tambatan perahu ROJO MOLO telah roboh dan tidak mau pergi dari tempat terbut, sering berjalan hilir mudik bahkan sering mengganggu warga sekitarnya. Saat ada peristiwa anak gontor putri tenggelam di lokasi tersebut Maka oleh warga sekitarnya sudah tidak asing jika di nggompang sering terjadi keanehan/ mistiks. ( sumber cerita dari Mbah WIROSOBO )
2.DUSUN BARENG DAN PULO
Tempat tersebut tidak jauh dari Nggompang hanya berjarak kurang lebih 200 m. Saat Raja Solo melihat sungai bercabang dua, secara spontanitas menyebutnya ada PULO. Maka tempat sebelah barat dusun Bareng sampai sekarang masyarakat sekitar menyebutnya PULO. Oleh karena Raja setiap bepergian selalu di ikuti oleh pujangga Keraton, maka sang Raja saat bertemu sungai cabang dua bertanya kepada pujangganya. Perahu di lewatkan ke Utara atau ke Selatan ?.
Sang Pujangga melempar sebuah tongkat dari bambu muda ke sungai sebagai petunjuk Perahu untuk memilih arah. Singkat cerita bambu tersebut mengikuti arus air yang ke selatan. Dan akhirnya Perahu Rojo Molo meneruskan perjalanan dan akhirnya singgah di PULO itu bagian hilir ujung paling timur dari pulau itu. Ternyata pulo itu tempatnya atau tanahnya sangat luas dan miring ke utara dan ke selatan. Tempat itulah di namakan BARENG. BARENG anonim dari JEMBAR dan MERENG. JEMBAR artinya Luas. MERENG artinya Miring. Maknanya BARENG adalah Tanahnya Luas tapi Miring kondisinya atau bentuknya. Itulah asal usul Dusun Bareng.
Di Bareng inilah Raja Solo bersama dengan para pujangga keraton memberi wejangan kepada pendereknya juga kepada masyarakat sekitarnya yang berdatangan.
Wejangan yang belau ajarkan kepada seluruh kawulanya adalah :
a. Ilmu Pranoto Mongso sebagai pedoman kaum tani dalam bercocok tanam.Sampai sekarang ilmu ini sebagian petani masih menggunakannya. )
b.Ilmu angger-angger nagari. Maka dari itu Bareng dan sekitarnya seperti Ngrandu ( demang sebalah selatan sungai termasuk cikal bakal desa Sambirejo, dan lain sebagainya
Setelah jabatan demang tidak di pakai muncul istilah pemerintahan selanjutnya seperti : Bekel, Carik, Bayan, Uceng dan Modin.
Peristiwa Sri Pakubuwono IV memberi wejangan inilah yang di pakai sebagai dasar pemikiran nama desa SRIWEDARI . SRI adalah panggilan atau gelar atau sebutan penghormatan untuk raja yang berkuasa. Misalnya Sri Sultan ( untuk Jogyakarta ), Sri Susuhunan ( untuk Surakarta ). WEDARI dari kata dasar WEDAR yang artinya menyampaikan pitutur luhur atau Nasehat atau wejangan. Seorang raja memberi wejangan inilah dalam bahasa jawa disebut MEDAR. SASONO ROJO MEDAR SABDO maknanya sama saja SRIWEDARI ( SRI RAJA MEDAR SABDO ). Maka benar cerita yang ada sekarang bahwa Bareng itu Cikal Bakalnya SRIWEDARI.
3. DUSUN WONOBOYO
Setelah singgah di Bareng meneruskan Perjalanan atau milir sampailah di sebelah timur Wonoboyo. Tempat penambatan perahu di pohon Asam. Dan tepat di hari pasaran Legi, maka asem tersebut di namakan Asem legi. Dulu sewaktu masih ada Pohon Asem Legi tersebut juga di sakralkan. Raja Solo atau SRI SUSUHUNAN PAKUBUWONO IV bersama Putra Mahkota Pangeran Haryo Purboyo ( Sebelum menjadi raja ). Membuka pemukiman baru di beri nama WONOBOYO ( punden asem gedhe / Tempat sadranan sampai sekarang ) nama tersebut di ambil dari nama yang membuka lahan pemukiman yaitu SRI SUSUHUNAN PAKUBUWONO dan PANGERAN HARYO PURBOYO sehingga menjadi WONOBOYO.
4. DUSUN BEDUG
Cerita tentang Dusun Bedug tidak terlepas dari cerita Eyang Honggomoyo. Hasil penelusuran sejarah bahwa eyang Honggomoyo bukan nama aslinya. Hanya Beliau murid dari Kyai Honggo moyo yang berasal dari Padepokan Magelang. Artinya Eyang Honggomoyo bukan berasal dari keraton Surakarta tetapi dari keraton Jogya. Karena Ngawi kekuasaanya keraton jogya saat itu.
Kyai Honggomoyo adalah Seorang Kyai guru Spiritualnya Pangeran Diponegoro dan Yosodipuro I yang juga ikut menentang Belanda wafat tahun 1801. Sedangkan SRI Susuhunan Pakubuwono IV juga mendukung dan membantu Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda. Singkat cerita beliau berdua sepaham seperjuangan dalam melawan Belanda. Pada saat tengah hari sang raja ingin meneruskan perjalanannya,
Ki Honggo moyo sebetulnya melarang bepergian di waktu tengah hari karena berbahaya. Namun sang Raja tetap meneruskan perjalanan / milir. Waktu perpisahan Ki Honggomoyo dan Raja Solo di tengah hari inilah di jadikan nama dusun. Tengah hari bahasa jawanya BEDUG. Maka tempat tersebut di namakan Dusun Bedug. Ki Eyang Honggomoyo benar-benar orang yang waskito karena dalam perjalanan selanjutnya raja solo sering mengalami gangguan atau peristiwa.
5. DUSUN KEDUNGGLAGAH
Atas larangan meneruskan perjalanan di tengah hari / Bedug oleh Ki Honggomoyo kepada Sri Susuhunan Pakubuwono IV tersebut benar – benar terjadi sesuatu hambatan yang luar biasa. Karena Perahu rombongan Raja tidak mau milir malah terperosok masuk di kali selajong terdampar di sebuah karang yang di tumbuhi rumput glagah. Dan tempat terdamparnya perahu tersebut di beri nama KARANGGLAGAH. ( lokasi di sebelah utara jembatan selajong tercantum dalam peta desa tahun 1915 )
Warga yang tinggal di Karangglagah apabila mencari air sangat jauh bahkan ada yang mengambilnya sampai di Kali Banger. Akhirnya banyak yang pindah di pinggiran bengawan Solo, tempat yang baru tersebut di beri nama KEDUNGGLAGAH.
Bahkan ada yang pindah ke Bangeran, sehingga menjadi nama desa Bangeran sekarang Bangunrejo.
Kedung artinya pinggiran sungai yang airnya paling dalam. Glagah pengambilan nama dari Karangglagah yang melekat pada warga yang pindah dari Karangglagah.
6. DUSUN SELAJONG
Oleh karena ukuran perahu Rojo molo sangat besar maka perahu yang terperosok masuk ke sungai Gugur tersebut ingin kembali ke Sungai maka caranya berjalan mundur di sela-sela semak dan rerumputan atau pepohonan. Sang Raja juga ikut mengawasi jalannya Perahu sambil duduk Jongkok. Maka tempat itu di namakan SELAJONG. Dan saat itu juga memakan korban bahwa salah satu selir raja ada yang jatuh ke sungai yang bernama Dewi Rantamsari. Maka tempat tersebut di namakan GUGUR nama lengkapnya GUGUR SARI artinya Rantamsari Gugur.
Tempat pemakaman Dewi Rantamsari ada dua versi. Versi pertama batu hitam di pinggir sungai dan versi kedua dekat Watu Gajah. Wallohualam.
7. PUNDHEN KEDUNG BRANTI
Di saat ronbongan raja hendak pulang ke Keraton, Raden Mas MALIKI SHOLEH atau KANJENG GUSTI PANGERAN HARYO PURBOYO ( anak sang raja ), tidak ikut pulang ke Keraton melainkan turun di Wonoboyo bersama beberapa emban dan abdinya di mana tempat pemukiman yang beliau buka bersama raja Solo atau Pakubuwono IV.
Saat berada di Wonoboyo beliau ingin melalkukan topobroto dan yang beliau pilih tempat yang paling tinggi. Di tunjuklah poncol.
Dalam kamus PONCOL artinya TANAH YANG TINGGI. Maka kampung itu di namakan Poncol, sedangkan tempat semedinya di beri nama SIDOBRANTI. SIDO artinya JADI, BRANTI artinya SETIA. SIDO BRANTI maknanya bahwa Pangeran Purboyo selama menjalani bertapa hati dan pikirnnya sudah bulat ingin mendirikan kerajaan, karena kesetiaanya kepada bangsa dan negaranya. Mengapa SIDOBRANTI berubah menjadi KEDUNGBRANTI... ?
Orang yang dekat dengan Pangeran Purboyo di doktrin di ajak mendirikan kerajaan baik orang-orang dari Krabat Keraton Jogya maupun Kerabat keraton Solo.
Semakin banyak yang di doktrin semakin banyak pengikutnya. Lama kelamaan Sidobranti berubah menjadi Kedungbranti artinya kumpulan orang orang yang setia.
Singkat cerita selama Kanjeng Pengeran Purboyo tinggal di Kedungbranti banyak peristiwa yang menimpa keraton Surakarta atau Solo. Di antaranya
Setelah kematian pakubuwono VI atau juga keponakannya inilah Kanjeng Pengeran Purboyo di jemput oleh Kerabat Keraton untuk di nobatkan menjadi Raja Keraton Surakarta dengan gelar SRI SUSUHUNAN PAKUBUWONO VII tahun 1830. Pudarlah keinginan mendirikan kerajaan, sehingga pendereknya ada yang ikut kembali ke keraton ada juga yang menetap di sekitar Punden Kedungbranti. Pengikut yang berasal dari penderek Pangeran Diponegoro ada menetap di daerah sekitar. ( ada makam penderek Pengeran Diponegoro di lokasi punden yang kurang terawat ) .
8. DUSUN BANARAN
Di saat Pangeran Purboyo menjalani tirakat atau bertapa di Punden KedungBranti para emban atau abdi dalem di tempatkan di suatu tempat yang tidak jauh dari lokasi punden. . Setelah Pangeran Purboyo kembali ke Keraton di nobatkan menjadi Raja Solo, para emban sebagian tidak ikut ke keraton. Tempat tinggal para emban inilah di beri nama BANARAN. Dan sampai sekarang menjadi nama Dukuh atau Dusun BANARAN.
MENGAPA PERAHU RONBONGAN RAJA SOLO HAMPIR TIAP TEMPAT YANG ADA PENGHUNINYA SELALU BERHENTI...?
MENGAPA DESA SRIWEDARI HANYA MENJADI DUA DUSUN PADAHAL ANAK DUSUN ATAU DUKUH ADA 9 ANAK DUKUH... ?
Karena di masa itu Tokoh yang menjadi rujukan atau orang yang di anggap memliki ilmu yang tinggi hanya berada di dusun Wonobyo ( Kanjeng Pengeran Purboyo ) dan dusun Bedug ( Ki Eyang Honggomoyo ). Sehingga anak dukuh di sekitarnya memintanya perlindungan kepada orang yang di tokohkan.
Demikian Sejarah Desa Sriwedari dari hasil penelusuran kami, semoga menambah kecintaan kita kepada para leluhur dan desa yang kita tempati ini. Jika ada kesalahan mohon maaf yang sebesar-besarnya. JAS MERAH ( JANGAN SEKALI-KALI MELUPAKAN SEJARAH )
Kami ucapkan banyak terima kasih kepada. :
Penulis Cerita : Supardi, S.Sos ( sekretaris Desa Sriwedari )